Gw baru bikin keputusan yang kata temen-temen gw rada nekat. Memutuskan untuk memilih mayoring klinis untuk program profesi psikologi yang lagi gw jalani, sedangkan ada mayoring pendidikan dan psikologi industri dan organisasi yang (harusnya) gw ambil karena gw toh bekerja di kantor. Pilihan yang sampai membuat teman-teman gw bilang gw gila.
Gw ceritain sedikit ya. Di kampus gw, untuk S2 Psikologi, ada tiga pilihan mayoring yang bisa diambil. Mayoring Pendidikan, pastinya berkutat dengan permasalahan di sekolah beserta alat tes yang berhubungan dengan anak . Lalu ada Mayoring untuk Psikologi Industri dan Industri (PIO), yang bersinggungan dengan permasalahan karyawan di kantor. Yang terakhir adalah Mayoring Klinis, bisa dibilang ini adalah “root”nya psikologi, berhubungan dengan semua permasalahan jiwa dan penyimpangan tingkah laku individu.
Yang bikin Psikologi Klinis itu terdengar berat (dan memang berat) adalah 10 kasus yang nantinya harus gw bikin dengan 600 jam magang di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Ketergantungan Narkoba, panti-panti rehabilitasi, plus penjara juga untuk mendapat data-data yang gw perlukan. Magang yang pastinya akan membutuhkan waktu yang sangat banyak dan mungkin saja mengambil waktu pekerjaan gw (bahkan waktu weekend), padahal kalau gw ambil PIO (sepertinya) lebih gampang karena gw kan ngantor. Kalau gw ambil PIO, gw bisa ambil data di kantor gw sendiri, lebih gampang. Kalau Pendidikan atau Klinis, gw mesti cari data di luar kantor, mesti cari cara bagaimana gw bisa memenuhi waktu magang gw di luar sana padahal gw masih terikat pekerjaan. Makanya di awal gw sudah nulis di form pilihan mayoring gw adalah PIO.
Masalahnya gw ga suka PIO. Dan hati gw ga tenang berminggu-minggu...
Dalam kehidupan, kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Mau pilihan yang mudah semacam “mau makan siang apa ya hari ini?” sampai dengan pilihan berat yang hanya bisa dilakukan seumur hidup seperti “apakah gw akan menikah dengan dia atau orang lain?”.
Semua pilihan tersebut mempunyai konsekuensi yang pasti akan kita tanggung. Kalau benar milih makan siangnya, pasti kita akan merasa kenyang dan puas dan merasa tidak rugi mengeluarkan uang. Kalau kita “benar” dalam memilih pasangan hidup, kita pasti mampu merasakan bahwa kehidupan kita menjadi lebih baik dan punya tujuan hidup yang jelas.
Setiap keputusan membawa kita kepada suatu arah, entah benar atau pun tidak. Namun seringkali dalam mengambil keputusan tersebut tidak murni menuruti kata hati kita. Selalu ada pertimbangan-pertimbangan atau pun pendapat orang lain yang kita dengarkan dan akhirnya mempengaruhi pengambilan keputusan. Tapi, sadar ga sih, tidak semua yang orang bilang itu baik untuk kita? Entah siapa pun yang dia yang mencoba mempengaruhi kita seperti keluarga, teman, atau pun pasangan kita. Memang, kemungkinan dari pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya kita dapat menarik pelajaran sehingga kita bisa mempunyai referensi untuk mengambil keputusan yang (mungkin) benar. Tapi ingat, yang akan menjalani kehidupan ini adalah kita sendiri, bukan mereka. Orang-orang di sekitar kita memang dikirimkan Tuhan untuk membantu kita, tapi tetap saja, kita sendirilah yang nanti bertanggunng jawab atas kebahagiaan dan keberhasilan kehidupan kita.
Ketidaktenangan gw membuat gw akhirnya mencoba mencari konfirmasi akan pilihan pertama yang gw buat. Gw mencoba menggali apakah memang benar mengambil mayoring PIO itu adalah yang yang memang gw inginkan. Apakah gw benar-benar akan bahagia dengan pilihan itu sehingga nantinya gw bisa mengerjakan semua tugas gw dengan riang gembira. Gw bertanya dengan banyak teman gw yang sudah lulus S2, juga dengan teman-teman seangkatan gw, bagaimana pendapat mereka dengan pilihan di antara mayoring PIO dan Klinis tersebut. Banyak hal yang gw bisa jadikan patokan pilihan mana yang akan gw pilih. Dan rata-rata kalau kita bertanya tentang pilihan, orang akan secara dengan tidak sengaja menuntun kita untuk memilih pilihan yang sama dengan yang dia pilih. Coba perhatiin deh kalau nanya sama orang trus kita terlihat ragu, pasti ngomongnya gini, “Udaaahhh..kayak gw aja, toh gw juga ga kenapa-kenapa, ngapain susah-susah sih?”
BLAH!
Dalam keraguan yang semakin menggerogoti, juga waktu yang udah makin mepet karena semesteran akan segera berakhir, ada satu temen gw yang omongannya bikin gw tertampar. Dia bilang begini: “Kalau aku ya, selalu mengerjakan apa yang aku suka. Aku ga pernah melakukan apa yang aku ga suka. Soalnya kalau aku melakukan yang aku ga suka, aku pasti akan bersungut-sungut dan hasilnya pasti ga maksimal. Kalau aku melakukan yang aku suka, walau pun nantinya pasti ada kesulitan, paling engga gw masih ada semangat yang membuat gw akan mencari cara mengatasi kesulitan itu. Dan selalu ada jalan untuk semua masalah yang kita hadapi.”
Trus gw terharu...gw merasa semesta memberikan gw konfirmasi untuk apa yang harusnya gw lakukan.
Akhirnya, walau pun semua data administrasi sudah masuk ke Ketua Program Profesi, gw berhasil membujuk mas-mas admin untuk masukin nama gw ke program mayoring Klinis dan mencoret nama gw dari progam mayoring PIO. Keputusan yang sangat mepet, yang mungkin saja bisa ditolak. Tapi, ternyata engga. Dua hari berikutnya gw bisa dapat jadwal mayoring klinis yang gw mau.
Jadwal yang gw terima memang terlihat sangat mengerikan. Ga ada jeda waktu leyeh-leyeh sampai bulan Juni, dilanjutkan dengan magang 600 jam sampai bulan Desember. Fix bahwa setahun ini gw akan kerja keras luar biasa untuk bisa memenuhi tenggat waktu wisuda di tahun 2017. Tapi paling tidak gw tahu gw melakukan itu karena gw memang bahagia dengan keputusan itu. Bahwa gw menyukai bidang ini sehingga untuk semua kesulitan yang akan gw hadapi gw pasti akan bisa menemukan jalan keluar untuk mengatasinya.
Tidak ada jalan pintas dalam kehidupan. Semua keputusan akan pilihan kita mempunyai bebannya masing-masing. Tapi paling tidak, melakukannya dengan senang bisa meringankan beban tersebut.
0 comments