Opini Hanyalah Opini



Beberapa hari terakhir gw banyak mendengar pendapat orang lain mengenai gw, yang gw dapat dari orang lain. Intinya, gw diomongin orang, gitu.

Jadi katanya, gw ini orangnya “keras”, suka menguasai orang lain. WOW! Pendapat yang bagus banget, yang membuat gw terdengar seperti Hitler versi perempuan. 

Perempuan, kalau dibilang keras kesannya koq kasar gitu ya? Kya ga punya perasaan, ga punya kasih sayang sama orang lain, kya laki...

Gw cukup tersinggung sama perkataan orang ini yang notabene dia ga tau apa-apa soal gw. Yang dirinya sendiri juga kepala batu ga bisa dibilangin tapi bisa-bisanya “ngatain” gue keras dan suka menguasai.
Trus, gw jadi mikir. Gue juga sering ngejudge orang lain, baru tau sedikit langsung bikin opini trus mempersuasif orang lain buat percaya sama opini gw. Menaruh standart hidup gw ke orang lain, jadi kalau orang itu ga berbuat sama seperti yang gw buat itu artinya orang itu aneh, absurd, ga layak hidup di muka bumi *ternyata aku memang Hitler*

People always have their own opinion. Suka ga suka, mulut orang memang ga akan pernah bisa berhenti bicara. Kita yang harus menebalkan telinga, menguatkan hati mendengar pendapat orang lain tentang kita. Kita yang harus percaya pada diri kita sendiri, bahwa kita tidak seperti yang orang lain pikir. Bahwa kita mampu, bisa, cantik, ganteng, pintar, luar biasa menawan tiada bandingan.

Sama kejadiannya waktu gw baru potong rambut pendek banget. Banyak yang bilang gw gendutan, makin gemuk kya babi. Tapi ga sedikit juga yang bilang gw makin kelihatan fresh, lebih bagus daripada rambut panjang karena keliatan tua, lebih manis *kasih permen*, and bla bla bla. 
SEE? Ketemu banyak orang, makin banyak opini yang datang. Mau dengerin yang mana coba? 

Memang sih, otak dalam keadaan sadar lebih cepat merekam kata-kata negatif dan menyimpannya ke dalam alam bawah sadar. Ketika kita mendengar hal yang negatif, hal tersebut diasosiasikan kepada hal yang bersifat emosional, makanya lebih membekas daripada kata-kata positif. Mengutip hasil penelitian John Cacioppo dari Universitas Chicago mengatakan bahwa, “kalimat negatif memberikan efek besar terhadap otak. Dampak ini disebut negative bias. Karena itu, kritikan akan lebih membekas di ingatan dibanding pujian”.

Jadi gimana dong ya biar kata-kata negatif itu ga kita pikirin terus?

1. Ngoceh-ngoceh
Kalau gw, gw lebih senang mengeluarkan pikiran negatif dengan cara katarsis oral. Gw akan ngomongin hal itu berulang-ulang sampai capek, sampai semua kepahitan dan sakit hati gw keluar. Untuk itu memang harus punya partner yang tebal kuping serta hati yang kuat sehingga kita pun nyaman untuk mengeluarkan semua uneg-uneg kita. Ga semua orang mampu jadi tong sampah. Jadi tong sampah itu susah tau. Ga percaya? Tanya deh psikolog, mereka susah payah sekolah, bayar mahal cuma buat jadi tong sampah hahaha *curhat*

2. Nulis-nulis
Kalau ga sukses, gw suka nulis, jadinya gw nulis atau doodling. Yang penting hal negatif itu ga kepikiran lagi. Menulis itu salah satu bagian dari terapi gangguan jiwa juga loh. Berpikir negatif itu juga bisa bikin sakit jiwa.

3. Jalan-jalan
Biasanya kalau berat banget, gw jalan-jalan.Pasti ga betah tinggal di rumah. Gw akan keluar, menghirup udara, melihat awan, ketemu orang banyak, pokoknya pergi dari lingkungan yang berbau negatif tersebut. Kadang pikiran negatif itu sebenarnya produk dari lingkungan juga. Kalau lingkungan lo negatif, biasanya lo jadi negatif juga.

Nah, gw udah puas ngoceh-ngoceh, nulis-nulis, jalan-jalan. Kalau kamu, apa yang akan kamu lakukan? Gw mungkin dilahirkan dengan kepribadian sekeras baja, setegar batu karang. Tapi, orang yang paling tau tentang diri gw ya hanya gw sendiri. Apa pun yang terjadi dan yang gw lakukan tidak terpengaruh dari perkataan oranng-orang di luar sana. Because, your opinion is not my reality.





xoxo

1 comments: